07 August 2025

Surat Perpisahan Acil The SIGIT

 



An ocean I can no longer fathom

Waves I can no longer ride

I find myself away from the bottom

With this feeling I can’t abide

 

A language I can no longer speak

Shivering words that left me weak

A presence I can not attend

Fate that I can not amend

 

This day has left me trembling

Coldness of that morning

The sadness of the mourning

 

The ship’s now sailing the high sea without a word

And I left my heart for you to decide my lord…

 

As I lay rest shield and my armour…

I turn myself ashore… to where I was before…



06 August 2025

Mayit Dina Dahan Jengkol: Janda sebagai Objek

Ini kisah tentang Sari, biasa dipanggil Nok Sari: janda muda dan cantik yang dianggap sebagai penyakit oleh ibu-ibu warga kampung. Sebabnya, para suami mereka, apalagi kaum bujangan, berebut mencari dan mencuri perhatiannya. Mereka, para lelaki itu, biasa berkumpul di warung Bi Isoh yang letaknya tiga rumah dengan kediaman sang janda.

Karena dagangannya jadi laku keras, baik kopi maupun goreng ulen, Bi Isoh jadi salah satu perempuan yang "tak membenci Sari", malah berharap janda itu tak segera menikah agar warungnya terus ramai dikunjungi.

Percakapan-percakapan di warung Bi Isoh selalu tentang Sari, dipadu dengan canda dan tawa yang riuh. Pendeknya, para lelaki itu menjadikan Sari sebagai objek. Saat menggambarkan dialog-dialog tersebut, Ahmad Bakri si pengarang begitu tapis.

Perceraian Sari dengan suaminya mula-mula tak banyak yang menduga. Rumah tangga mereka dianggap biasa. Hanya saja suaminya memang di luar kota untuk mencari nafkah. Dan sebelum mendapatkan rumah yang layak, Sari dititipkan sementara di rumah orang tuanya.

“Muhun [salaki Nyi Sari téh] ti Bandung ngalih ka Batawi. Méméh kénging bumi sina di dieu heula, ongkoh dibaeukeun ku sepuhna, bilih dibabawa métak (tinggal di rumah petak) cenah. Pa Mandor téa atuh, uninga ieuh, teu paya pisan ningali kirang sautik ge,” jawab Bi Isok kepada seorang pemuda.   

Suatu hari, Sari hilang saat mencuci baju di tampian. Darah segar berceceran di sekitar tempat dia mencuci. Warga kampung heboh bukan kepalang. Mereka segera menyusuri sungai untuk mencarinya. Beberapa orang yang melihatnya pada saat-saat sebelum dia menghilang, dipanggil. Dari jawaban-jawaban para “tersangka”, seseorang disuruh untuk menjemput orang yang para “tersangka” sebutkan.

Namun, saat orang yang disuruh itu belum sampai ke tujuan, hal menggemparkan lainnya kembali terjadi.

Berbulan-bulan kemudian, warga menemukan sesosok mayat yang tergantung di dahan pohon jengkol. Kampung yang semula telah reda, kembali geger. Peristiwa ini awalnya tak terbongkar, tersimpan rapi selama berbulan-bulan: antara bunuh diri atau rajapati. 

Novel ini kembali membuktikan kepiawaian Ahmad Bakri dalam membangun rasa penasaran pembaca. Namun, setali tiga uang dengan novela “Dina Kalangkang Panjara” dan “Kacaangan ku Panékér”, semuanya tak menggoreskan konflik kejiwaan yang kompleks. Atau tak secanggih cerita Laleur Bodas karya Samsu yang menghadirkan sosok misterius.

Namun demikian, Mayit Dina Dahan Jengkol berhasil memotret keadaan sosial masyarakat Sunda di perkampungan tempo dulu—atau mungkin masih terjadi sampai hari ini—yang memperlakukan janda sebagai anggota masyarakat yang tak diinginkan dan sumber penyakit.     

Sari dalam novel ini menjadi korban berlapis. Dia tak sanggup menggapai cita-citanya meraih hidup bahagia. Kecantikan dan statusnya sebagai janda menjadi kambing hitam. Di tengah sistem sosial yang rapuh bagi perempuan, dia tak berkutik. [irf]

28 July 2025

Nu Harayang Dihargaan: Darpan dan Cerita-Cerita dari Utara

Dalam pengantar buku kumpulan cerpen ini, Duduh Durahman menyinggung soal komposisi nama pengarang, yakni Darpan Ariawinangun. Menurutnya, gabungan kedua nama itu secara kebiasaan bertolak belakang, karena menggabungkan nama yang lumrah dipakai rakyat jelata dengan nama menak.

Nama Darpan, tambahnya, sederajat dengan nama Salhiam, Mang Uham, atau Kang Nurhayi. Sementara Ariawinangun betul-betul nama ningrat. Lain itu, kata Duduh, pengarang kiwari jarang yang memakai nama yang berbau priyayi.

Namun di sejumlah bukunya, pengarang hanya menyantumkan Darpan—nama merakyat itu—tanpa menambahkan nama belakang. Saat menamatkan 15 cerpen dalam buku ini, kiranya tepat jika dia hanya memakai nama Darpan, karena seluruh cerita yang ia reka menggambarkan kehidupan rakyat jelata dengan segala kemalangan dan kepahitannya dalam melakoni hidup.

Darpan lahir pada 4 Mei 1970 di Sungai Ula, Cibuaya, pesisir Karawang. Berbeda dengan sejumlah pengarang Sunda yang lebih senior darinya, yang kebanyakan berasal dari wilayah Priangan, Darpan orang utara. Bahasa Sunda yang ia pakai pun terdapat beberapa perbedaan dengan dialek Priangan. Meski demikian, di bagian akhir buku ini terdapat keterangan “Bahasa Wewengkon”, yakni kosakata yang dipakai Darpan dan mungkin tidak biasa atau jarang didengar orang orang Sunda dari wewengkon/wilayah lain di Jawa Barat.

Sebagai orang pesisir, tak heran jika beberapa cerpennya mempunyai latar kehidupan nelayan dan petambak. Laut, pantai, dan muara menjadi tempat sehari-hari sejumlah tokohnya, bukan sekadar tempat rekreasi seperti misalnya dalam novel Rajapati di Pananjung (1985) karangan Ahmad Bakri.       

Rajapati, Isu Lingkungan, dan Politik

Pada 2010, seorang kawan menulis cerpen yang dimuat di majalah Manglé. Ia menyudahi kisahnya dengan rajapati atau pembunuhan. Menurutnya, pilihan itu diambil karena ia ingin akhir yang fantastis.

Sejauh pembacaan saya terhadap cerpen-cerpen Sunda, rajapati memang beberapa kali muncul di penghujung kisah. Polanya sama, pengarang mula-mula membangun konflik yang eskalasinya kian menanjak, lalu menempatkan tragedi pembunuhan di bagian akhir yang dimaksudkan sebagai klimaks. Awalnya mungkin pembaca tak akan mengira demikian, tapi jika lama-kelamaan akan terbiasa dan mampu memprediksinya.

Cerpen-cerpen Darpan pun tak lepas dari rajapati. Motifnya rupa-rupa. Berseteru dengan anak sendiri gara-gara berbeda pendapat dalam merespons permasalahan sosial yang timbul akibat korupsi perangkat desa dalam cerpen “Taleus Ateul”. Protes dan frustasi akibat proyek pembangunan menggusur kampung dalam cerpen “Peuting nu Hareudang”. Dan cemburu karena istri ditiduri tetangga dalam “Si Ato Miara Jago”.

Selain dalam “Peuting nu Hareudang” yang menceritakan hilangnya sebuah kampung karena pembangunan pabrik, isu lingkungan dan ekonomi juga muncul dalam cerpen “Layung Geus Ririakan”—orang tua yang pendengarannya sudah buruk yang kehilangan sawah karena dijual oleh anaknya kepada orang-orang kaya, dan “Helikopter”—para petambak penghasilannya mulai berkang akibat pencemaran air.

Sedangkan isu politik selain muncul dalam cerpen “Teleus Ateul”, juga hadir dalam “Cikopi Sagelas”—rakyat jelata yang terhindar dari tekanan/sandra politik aparat desa karena anaknya berbeda pilihan dalam pemilihan lurah. Di pengujung kisah, Mang Karma, rakyat kecil itu akhirnya bisa kembali merasakan kehidupan yang tenang tanpa paksaan dan kesenangan semu yang sempat diberikan pemerintah desa.

“Nya ieu dunya aing. Dunya sagelas cikopi isuk-isuk, bari bébas mikir pigawéeun poé ieu. Henteu dipapaksa ku batur, henteu kudu sieun ku batur. Ah, naha aing salila ieu kaparabunan ku nu teu puguh? Ninggalkeun dunya aing nu sakieu bébas merdékana? Kétang aya hikmahna, aing jadi nyaho talajak hiji-hijina jelema. Mangsabodo, saha nu rék jadi lurah minggu hareup,” kata Mang Karma.

Cerpen lain yang juga memakai tema politik adalah “Nu Luas Ninggalkeun” dan “Patung jeung Hayam”. Meski cerpen “Nu Harayang Dihargaan” memang cukup menonjol sehingga dipilih jadi judul buku ini, yang menurut Duduh Durahman dalam pengantarnya mempunyai kesan “ngagalura, keras jeung kasar, unsur dramatikna kuat... carpon anu pangneundeutna, tapi pepel,” tapi menurut saya pribadi “Patung jeung Hayam” adalah cerpen yang gaya penceritaannya paling unik.

Dalam “Patung jeung Hayam” Darpan begitu tapis menggugat arti kepahlawanan yang pada umumnya hanya berhenti pada simbol. Diceritakan bagaimana pembangunan sebuah patung pahlawan memakan banyak biaya sehingga melebihi dari anggaran semestinya. Akibatnya, warga sekitar patung “katempunan”. Harta benda mereka yang tak seberapa dipakai untuk mendukung pembangunan patung tersebut. Bahkan seekor ayam warga pun akhirnya dirampas.

Lain itu, para pejabat dari kota yang melakukan perjalanan dinas ke desa untuk mengontrol dan memeriksa pembangunan patung kerap minta dilayani dengan berlebihan, salah satunya minta “ayam”.

Kumpulan 15 cerpen ini seluruhnya memotret nasib rakyat kecil yang hidupnya tak putus dirundung malang. Suara Darpan adalah suara wong cilik pesisir utara Jawa Barat dengan segala persoalannya. [irf]

05 July 2025

Pager Ayu

Karya: Dede Mudopar

Tadina mah mugen. Horéam milu. Ngan si Uton mani maksa ngajak ngabaturan. Ngabaturan ka ondangan kawinan babaturanana di Maja.

Kuring jeung si Uton datangna rada pandeuri. Teu bareng jeung rombongan pangantén lalaki. Anjog ka tempat nu boga hajat téh balandongan geus pinuh ku tatamu ti pihak lalaki nu nganteurkeun jeung ti pihak awéwé nu nyampakkeun. Lah rék diuk di tukang wé, ceuk pikir. Tapi si Uton ngabebedol leungeun, séséléké ngajak diuk rada di hareup, tukangeun para sesepuh. Méh atra ningali akadna, cenah.

Katingali pangantén lalaki diuk dina korsi panjang diapit ku lebé jeung ajengan. Nyanghareupan méja nu jangkungna méh satuur. Na méja katangén aya surat kawin jeung kado dibungkus ku kertas nu rupana konéng emas. Jigana jerona mas kawin. Hareupeun éta méja aya deui korsi panjang nu kosong kénéh. Keur diuk pangantén awéwé meureun.

MC muka acara. Terus ngamanggakeun ka pangantén awéwé supaya diuk dina tempat nu geus disadiakeun. Korsi panjang téa. Kurunyung pangantén awéwé diaping ku pager ayu di kénca-katuhueunana.

Kuring merhatikeun panganten lalaki nu ngan katempo tonggongna. Katangén naék turun. Rénghap-ranjug. Geumpeur tayohna. Bisi salah ngomong dina waktu ijab kobul.

Pangangguran kuring ngarérét ka pager ayu katuhueun pangantén awéwé. Ké asa wawuh, ceuk pikir. Ngan saha éta? Di mana? Sugan pédah kahalangan nu make up nu kandél, jadi mani hésé nginget nu diteuteup téh. Uleng mikir. Nginget-nginget bari angger teu leupas neuteup si pager ayu. Inget! Gebeg. Ngagebeg. Yati. Geuning Yati. Enya Yati. Moal salah. Yati.

Geus teu kadéngé sora MC nu ngatur acara. Geus teu maliré deui runtuyan acara nu keur dilakonan. Kuring ngadon ngahuleng bari teuteup teu leupas ti si pager ayu. Tapi nu diteuteupna mah bangun teu sadareun, anteng wé tungkul bari ngiplik-ngiplik kipas. Ngipasan pangantén.

Enya Yati, gerentes haté. Yati nu éta. Nu baheula kungsi tapa salila-lila di jero haté. Yati nu tujuh taun katukang ngeusi sanubari tur teu bisa ditukeuran nu inten. Yati nu tungtungna ngajejewet haté kuring. Yati nu tujuh taun katukang ngudar jangjina. Jangji duaan. Jangji hirup babarengan. Yati nu ingkar tina jangji alatan kagoda ku banda. Kagoda ku harta. Kawin jeung harta.

Harita. Tujuh taun katukang. Yati kawin. Sanggeus kawin, tuluy manéhna pindah ti lembur. Ka Jatitujuh cenah pindahna téh. Dibawa ku salakina. Haté peurih. Peurih pisan. Pikeun ngabangbrangkeun haté nu tatu, kuring ngumbara ka Ciamis. Nya di Ciamis pisan kuring panggih jeung Nani. Nani nu anyeuna jadi pamajikan kuring. Nani nu bisa ngagantikeun Yati. Nani nu asih jeung geugeutna bisa matak poho ka Yati. Yati nu jadi indung budak kuring.

Tapi naha anyeuna nu kapikiran téh ngan Yati? Yati nu aya di hareupeun kuring. Lain Nani nu kapikiran téh. Lain. Tapi Yati. Teu inget ka haté nu kungsi raheut ku manéhna. Nu aya na haté téh ngan asih nu baheula leungit, kahilian ku asih nu anyeuna eunteup deui. Jadi deui. Hejo deui. Nyaliara deui.

“Alfatihah...”

Kuring ngarénjag. Sadar tina lamunan. Bakat husu ngalamun teu sadar geus réngsé akad nikah téh. Du’a panutup gé geus bérés. Tuluy dua pangantén diiringkeun asup ka imah... Angger diaping ku para pager ayu. Yati salah sahijina.

MC ngamanggakeun ka para tatamu supaya parasmanan heula. Si Uton, di gigireun cengkat.

“Hayu dahar heula, No!” ceuk si Uton.

“Nam we ti heula,” tembal kuring. Si Uton ngaléos, muru parasmanan. Kuring ngajentul kénéh dina korsi. Ngalamun kénéh. Ngalamunkeun si pager ayu téa. Yati téa. Aya nu noél kana cangkéng, kuring kagebah tina lamunan, barang dilieuk, geuning... Yati. Yati geus diuk di  gigireun.

“Kang Nono?” nanyana bari neuteup. Teuteupna. Teuteup nu baheula.

“Muhun, Yati?” tembal kuring.

“Muhun, Akang geuning aya di dieu? Damang Kang?” Yati imut. Imut nu baheula.

“Ieu nganteur réréncangan. Alhamdulillah damang. Yati bet aya di dieu? Sanés kapungkur basa ngalih téh ka Jatitujuh?” omong kuring.

“Pan dua taun kapengker abdi sareng pun lanceuk téh ngalih ka dieu, ka Maja. Nembé sataun di dieu, pun lanceuk ngantunkeun,” tembal Yati. Tungkul. Paromanna robah. Jadi alum.

“Ngantunkeun? Innalillahi,” ceuk kuring bari neuteup. Yati tungkul kénéh. Geuning Yati téh geus jadi randa, ceuk kuring na haté.

“Eu... Yat, tos kagungan sabaraha putra?” tanya téh, mengpajarkeun jejer omongan.

“Numawi, Kang, abdi mah teu gaduh putra. Ditakdirkeun moal gaduh turunan ku Pangeran. Ari Akang tos kagungan sabaraha?” tanya Yati bari beungeutna cengkat deui. Neuteup deui. Kuring teu langsung némbal. Ngahuleng heula. “Gabug” geuning Yati téh.

“Eu... Akang mah tos gaduh dua. Lalaki sadayana,” témbal kuring.

“Euleuh pameget sadayana? Karasép panginten nya? Jiga ramana,” ceuk Yati. Imut. Imut nu asa béda. Asa ngagoda. Haté jadi teu pararuguh rarasaan.

“Heuheu... muhun atuh,” témbal kuring bari nyéréngéh. Yati ngan imut.

“Euh Kang, sindang atuh ka rorompok, da caket ti dieu téh, tah lebet ka gang nu éta,” Yati nunjuk ka gang peuntaseun imah nu boga hajat.

“Mangga Yat, sanés waktos wé, isin ongkoh,” cekeng.

“Ih, iraha sanés waktos téh? Yu anyeuna wé sindang heula. Jih isin ku saha da teu aya sasaha. Yu Kang ngobrolna cuang di rorompok wé, méh rinéh ongkoh ngobrolna,” Yati néréwéco.

Kuring ngahuleng. Anéh. Haté nu baheula kungsi ngedalkeun “cadu” kudu ngomong deui jeung Yati anyeuna bet léah. Haté nu baheula gorowong ku Yati anyeuna bet jadi cageur ku kabungah. Bungah pédah panggih deui jeung Yati. Yati nu baheula...

“Mangga atuh,” kuring cengkat. Yati cengkat.

“Antosan heula sakedap, Yat!” ceuk kuring bari ngaléos rék néangan si Uton. Kapanggih si Uton keur nyerebung udud na korsi, bérés dahar tayohna.

“Ton, bisi rék balik mah jung wé ti heula. Heug pangbéjakeun ka Nani, kuring balikna peuting, da rék ka Talaga heula, rék nyimpang heula ka Wa Haji, kituh. Peupeujeuh nya Ton béjakeun,” ceuk kuring.

Katingali beungeut si Uton rada kerung. Pinuh kahéran. Kuring langsung ngaléos. Teu ngadagoan jawaban Uton. Muru Yati. Kabetot ku imut Yati. Yati nu baheula... [ ]

 

Jatinangor, 24 Pebruari 2010

 

Eunteung (Bagian 2 - Tamat)


Karya: Dede Mudopar (*) 



Tuluy kuring ngojéngkang ka pipir imah Mang Suma. Gigireun imah Mang Hadi. Dodongkoan. Si Emus nuturkeun. Datang ka pipir. Cingogo deukeut tatapakan. Kaayaan rada caang. Kasorot ku lampu ti gigireun imah Mang Suma. Hulu dielolkeun. Si Emus pindah ka gigireun. Ngelolkeun sirahna. Atra ka dapurna imah si Emus.

Kaayaan pipirna remeng-remeng. Ngan kacaangan ku lampu ti pipir imah Mang Hadi. Katingali aya jalma nangtung hareupeun panto dapur si Emus. Si Ohim. Teu salah. Dedeganna ogé. Tuluy manéhna keketrok. Keketrok sababara kali. Can aya nu muka. Kuring ngarérét heula ka si Emus. Beungeutna geuneuk. Huntuna kekerot. Kulutrak panto dapur si Emus aya nu muka. Nyi Wiwi jigana. Sup si Ohim asup. Kuring teu lemék. Hate bet milu heneg. Milu kekerot.

“Mus, kumaha ieu? Naha cuang buburak waé ku urang?”

Nu ditanya teu némbal. Kabayang kumaha rarasaan si Emus harita.

“Buburak wé lah,” ceuk kuring bari nguniang. Nangtung. Can gé ngaléngkah, si Emus kaburu metot leungeun.

“Ulah Kang! Keun waé,” si Emus ngomong bari milu nguniang nangtung. Tuluy ngaléos. Kuring kerung. Anéh. Héran. Asa hayang ambek. Keuheul ku si Emus! Euweuh peujitan kitu si Emus téh? Gerentes kuring. Kapaksa kuring nuturkeun. Keun hayang nyaho, rék kumaha cenah. Dituturkeun téh ngadon ka garduh. Nangkeup tuur deui. Kuring milu diuk gigireunana. Ibun mimiti nyaab. Hawa peuting nu biasana tiis teu karasa. Ngahéab nu aya. Kalah hareudang. Kakara rék pok ngomong, si Emus miheulaan.

“Kang, ulah waka lapor ka RT nya! Keun waé. Éta mah urusan kuring jeung Nyi Wiwi jeung si Ohim,” pokna.

Kuring teu némbal. Heneg. Da tadi téh rék ngomong rék lapor ka RT. Ari anyeuna si Emus ngomong kitu. Lain lalaki sia mah Mus! Mun ku aing mah geus dicacag tah si Ohim! Dipeuncit ku aing mah! Cekeng na jero haté.

Sora bueuk dina tangkal nangka teu eureun-eureun. Katambahan ku sora daun awi nu katebak angin peuting. Tangkalna milu kaoyagkeun. Ngaréot paadu jeung papadana. Sorana lir jalma nu patingcorowok. Kuring ngadon ngajaranteng. Asup kana lamunan séwang-séwangan.

Geus kadéngé aya nu tahrim di masjid. Si Emus ujug-ujug ngaléos. Teu ngomong heula. Kuring ngan nyérangkeun di tempat diuk. Kuring gé balik. Dibaturan ku nyecepna ibun janari. Nu angger teu karasa tiis. Teu matak niiskeun.

Datang ka imah langsung gogoléran. Teu bisa saré. Kabayang waé kajadian tadi. Kabayang waé beungeut si Emus. Nu geuneuk. Napsu. Tapi euweuh kawani. Si Emus nu euweuh peujitan. Lain lalaki! Danten sia mah Mus! Haté néréwéco waé. Tungtungna mah reup teu inget bumi alam.

Kuring kahudangkeun ku nu garandéng di jalan hareupeun imah. Ngarérét heula kana jam dinding. Geus tabuh sapuluh geuning. Kuring buru kaluar. Aya pamajikan keur guntreng waé jeung tatangga. Di jalan loba jalma lalumpatan ka kulonkeun. Aya ogé nu leumpang rurusuhan. Ka kulonkeun.

“Nyai, aya naon mani asa riweuh kieu?” cekeng nangtung dina golodog.

“Si Ohim aya nu meuncit, Kang!” témbalna rada ngagorowok. Kuring reuwas. Buru turun kana golodog.

“Di mana?”

“Di saung deukeut walungan. Tuh mayitna gé di ditu kénéh. Buru ka ditu! Geus aya pulisi malahan mah, anyeuna ogé geus bung-beng pulisi mah naréangan si Emus, curigauen ka si éta da ti isuk geus euweuh. Cenah mah tadi isuk-isuk aya nu manggihan di Talaga. Naék mobil jurusan Bandung. Rurusuhan,” pamajikan néréwéco.  

Kuring teu némbal. Asup deui ka imah. Buru disalin. Hareupeun eunteung. Neuteup kalangkang kuring na eunteung. Kolébat si Emus. Kolébat Nyi Wiwi. Kolébat si Ohim. Kolébat bedog. Patingkolébat. Na eunteung. Gidig kuring kaluar. Rurusuhan. [ ]

 

Jatinangor, 16 Maret 2010

(*) Mahasiswa Sastra Sunda Unpad tur aktif di Institut Nalar Jatinangor.